Indonesia yang Galau Jelang Pemilihan Kepala Daerah

bbraling.admin

Sebentar lagi, 27 Juni 2018, sejumlah daerah serentak akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah. Sebagai pemegang KTP Depok, saya memiliki hak untuk memilih Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat, salah satu dari 3 provinsi yang jumlah pemilihnya terbanyak di Indonesia selain Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kemungkinan besar, hal itu pula yang menyebabkan ketiga pilkada di provinsi tersebut mendapat perhatian terbesar secara nasional. Berdasarkan data yang tertera pada website resmi KPU, pemilih tetap di Jawa Barat tercatat hampir 32 juta. Sementara Jawa Timur berada di urutan kedua dengan 30 juta pemilih.

Lalu Jawa Tengah, 27 juta. Jika digenapkan dengan Sumatera Utara yang berada di urutan berikutnya (9 juta), jumlah pemilih di keempat propinsi itu kurang-lebih setengah dari perkiraan jumlah pemilih yang berhak terlibat pada Pemilu Presiden maupun Legislatif pada tahun 2019 nanti (196 juta).

Dengan demikian tentu dapat dimengerti jika hasil pemilihan kepala daerah di keempat propinsi tersebut akan sangat berarti bagi banyak pihak.

Apalagi bagi partai politik.

Mereka memulai pertaruhan reputasinya dari sini. Sebab partai politik yang memiliki kecukupan suara pada pemilihan umum sebelumnya —atau jumlah kursi lembaga legislatif yang berhasil direbut— adalah yang berhak mengusung pasangan calon yang akan bersaing.

Pertempuran dalam pilkada itu sendiri sesungguhnya tak terjadi diametral. Sebab untuk mencukupi syarat yang ditetapkan, di seluruh provinsi yang akan menyelenggarakan pilkada tersebut, partai-partai politik yang ada perlu bergandengan satu dengan yang lain.

Ini yang sangat menarik.

Hanya di Jawa Barat, PDIP melenggang sendiri mengusung calon resmi kepala daerahnya. Kursi DPRD yang diraih PDIP pada Pemilu 2014 kemarin memang mencukupi (20/100). Maka mereka tak perlu berkoalisi dengan partai manapun. Sementara yang lain saling berkomplot untuk menjagokan calon masing-masing.

Lalu —dibanding ketiga propinsi lain (Jateng, Jatim, dan Sumut)— hanya di Jabar ini pula yang menawarkan lebih dari 2 calon pasangan. Pemilih di provinsi Pasundan itu bahkan ditawarkan 4 pasang kandidat. Sementara di Jateng, Jatim, dan Sumut, masing-masing hanya menyodorkan 2 pasangan calon kepala daerah dan wakilnya.

+++

Di Jawa Tengah, PDIP menggandeng Nasdem, PPP, Golkar, dan Demokrat —kelimanya menguasai 58 dari 100 kursi DPRD— untuk mengusung kadernya, Ganjar Pranowo, yang berpasangan dengan Taj Yasin.

Ganjar yang sempat dilanda isu tersangkut skandal e-KTP harus bersaing keras dengan Sudirman Said yang sebelumnya pernah menduduki jabatan strategis pada kabinet paling awal Jokowi (sebagai Menteri ESDM). Setelah menjadi best supporting actor pada panggung sandiwara Papa Minta Saham yang dilakoni Setya Novanto, beberapa saat kemudian, Sudirman Said dicopot Jokowi dari jabatannya. Kemudian dia sempat menjadi bagian dari tim pemenangan Anies-Sandy pada Pilkada DKI Jakarta tahun lalu yang amat ingar bingar itu.

+++

Di Jawa Timur, PDIP bekerjasama dengan PKB, PKS, dan Gerindra —mereka juga menguasai 58 dari 100 kursi DPRD— untuk mengusung Syaifullah Yusuf, berpasangan dengan Puti Guntur Soekarno yang merupakan keponakan dari ketua umumnya (Megawati Soekarnoputri).

Meski incumbent, Syaifullah Yusuf akan menghadapi perlawanan dahsyat dari Khofifah Parawansa dan pasangannya. Wanita yang popularitasnya melejit ketika menyampaikan pandangan pada sidang MPR/DPR saat Soeharto kembali dicalonkan menjadi Presiden RI di penghujung masa kekuasaan Orde Baru itu, merupakan sosok yang tak hanya berpengaruh. Tapi juga tangguh. Sebelum dicalonkan, Khofifah juga menduduki jabatan Menteri pada Kabinet Jokowi.

+++

Sementara di Sumatera Utara, PDIP mengajak serta PPP dan PKPI —mereka bersama-sama memiliki 23 dari 100 kursi DPRD— untuk mengusung calonnya, Djarot Sjaiful Hidayat, berpasangan dengan Sihar Sitorus.

Popularitas Djarot memang meningkat tajam ketika ditunjuk mendampingi Basuki ‘Ahok‘ Tjahaja Purnama memimpin DKI setelah Jokowi terpilih sebagai Presiden RI tahun 2014 lalu. Dia mungkin administratur yang baik untuk mendampingi berbagai langkah spektakuler Ahok membenahi kesemerawutan Jakarta. Sepak terjang yang menyebabkan banyak pihak kalang kabut dan “mati angin” karena tak lagi mudah mengeruk ‘keuntungan tak halal‘ di Jakarta.

Tapi Djarot dan Sihar adalah 2 sosok yang bukan ‘putra daerah‘ karena sebelumnya sehari-hari tak hidup di sana. Bukan pula tokoh-tokoh yang memiliki rekam jejak progresif revolusioner maupun terobosan fenomenal yang didasari gagasan dan kreatifitasnya sendiri.

Mereka akan menghadapi perlawanan keras dari pesaingnya, Edy dan Ijeck. Edy Rahmayadi, mantan Pangkostrad dan pemimpin PSSI, lahir dan besar di Medan, sebelum memasuki Akademi Militer. Sementara Ijeck adalah putra daerah yang sejak kecil di sana dan berangkat dari kalangan ‘terpandang dan berpengaruh‘ di Sumatera Utara. Sebelum pilkada ini, sejak puluhan tahun lalu, ayah dan pamannya — walau mungkin tak bersangkut paut dengan pencalonannya — mungkin jauh lebih dikenal masyarakat luas Sumatera Utara dibanding pasangan pesaingnya.

+++

Dari ‘pemetaan sederhana‘ yang digambarkan di atas, terlihat jelas posisi PDIP yang sangat tidak mudah. Partai yang popularitasnya cenderung terus menurun, setelah Indonesia pernah mempercayakan nasib kepada mereka, paska Gerakan Reformasi 1998 berhasil menggulingkan Suharto itu. Sejarah mencatat sejumlah kekecewaan terhadap PDIP maupun Megawati Soekarnoputri yang sempat dimandatkan menjadi Wakil Presiden, kemudian Presiden RI, setelah Gus Dur dipaksa mundur oleh mereka yang semula mendukungnya.

Berbagai catatan yang mengendap pada ingatan sebagian besar masyarakat pemilih — terutama berbagai gonjang-ganjing dan kabar tak sedap yang beredar saat mereka berkuasa — menyebabkan masyarakat pemilih ‘menjatuhkan sanksi sosial‘ dengan cara memilih SBY sebagai Presiden RI. Hal yang justru terjadi saat Indonesia, untuk pertama kalinya, mulai menyelenggarakan pemilihan Presiden secara langsung pada tahun 2004 lalu.

Jadi memang sulit dipungkiri jika PDIP memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap keberhasilan pilkada di keempat propinsi tersebut. Meski sejatinya Indonesia pernah berharap pada mereka — partai yang didirikan oleh sebagian tokoh yang kerap menentang bahkan ‘dikucilkan’ Suharto semasa berkuasa itu — melakukan berbagai pembaharuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Tapi berbagai fakta yang berlangsung justru dipandang dan dipahami berkebalikan. Tak jarang terdengar ungkapan bahwa nasib Indonesia paska Reformasi, sesungguhnya seperti ‘lepas dari mulut buaya masuk ke mulut t-rex‘.

Salah satu persoalan rumit bangsa kita adalah pada masalah subyektifitas yang menggelayuti pertimbangan masyarakat. Mungkin akibat ‘bentukan‘ dan trauma berkepanjangan yang kita alami selama 32 tahun Suharto dan Orde Baru berkuasa.

Sosok-sosok yang berada di barisan depan Gerakan Reformasi 1998 saat itu, kemudian justru bertikai satu dengan yang lain. Mereka malah cenderung mengedepankan kepentingan kelompoknya masing-masing dan ‘meninggalkan‘ masalah yang paling utama: membenahi kondisi bangsa yang sesungguhnya sedang porak poranda. Hal yang semakin memicu perpecahan di tengah masyarakat yang sedang galau terhadap masa depannya. Juga terhadap harapan tentang figur yang mampu mempersatukan gairah dan semangat mereka.

+++

Sebagian besar masyarakat, pada saat diselenggarakan Pemilihan Umum ulang tahun 1999, bersemangat menuju ke kotak suara untuk menentukan pilihan terhadap 48 partai politik yang turut serta. PDIP meraih suara terbesar (34%) dan berhasil menduduki 154 dari 462 kursi DPR RI. Golkar yang sesungguhnya dituding sebagai pendukung utama Orde Baru dan menjadi bagian utama dari politik represif Suharto, justru berhasil menempati urutan kedua. Mereka memperoleh 22% suara dan menempatkan 120 wakilnya di parlemen.

Mungkin kita telah mengambil hikmah terhadap sikap berlebih yang menjadi trauma bangsa hingga hari ini. Yakni saat pemerintahan Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin Sukarno ditumbangkan. Secara sistematis, Suharto yang sebetulnya ditunjuk sebagai ‘care taker‘, mengembangkan narasi bahaya laten PKI dan komunisme sehingga paham maupun organisasinya menjadi terlarang. Pengikut dan keluarganya di seluruh pelosok Tanah Air, diburu, dipenjara, bahkan dihabisi tanpa melalui proses hukum. Indonesia kemudian menyadari, sikap berlebihan dan cenderung membabi-buta itu menimbulkan korban dan kerugian moril maupun materil yang tak perlu pada anak-anak bangsa yang tak berdosa.

Maka kita tak pernah memutuskan Golkar yang memiliki rekam jejak buram sebelumnya itu, sebagai kelompok terlarang. Bahkan membubarkannya pun tidak.

Indonesia memilih jalan bijaksana untuk tetap memberi ruang semestinya kepada mereka untuk memperbaiki dan membenahi diri. Juga berperan aktif, bahu membahu dengan seluruh bangsa, membenahi nasib kita yang semerawut, paska krisis keuangan Asia yang berlangsung sejak kwartal terakhir 1997.

Mungkin sejak saat itulah segala kekacauan mulai berlangsung.

Di tengah semangat melakukan reformasi bangsa, pola dan cara fikir kelompok yang sebelumnya terlibat dalam sistem birokrasi dan kekuasaan yang terpengaruh budaya KKN itu, tetap leluasa terlibat aktif merumuskan langkah-langkah yang akan ditempuh. Termasuk dalam ‘memerdekakan’ setiap masyarakat mengekspresikan pendapat dan berserikat. Maka lahirlah, atas nama euforia semangat demokrasi yang sedang berlangsung, puluhan partai politik anyar.

Sebuah keniscayaan jitu untuk memecah perhatian dan suara bangsa terhadap agenda utama Reformasi nya sendiri. Bagaimanapun, setiap partai tentu akan memperjuangkan pilihan maupun keberpihakan masyarakat terhadap cita-cita yang diperjuangkan masing-masing. Maka sesungguhnya, setelah Pemilu paling demokratis yang pernah berlangsung d Indonesia itu, suara rakyat mulai terpecah dan Golkar pun berhasil mempertahankan keberadaan dan pengaruhnya pada peta politik kekuasaan Indonesia.

Terbukti mereka berhasil menduduki peringkat kedua suara terbanyak yang mengisi kursi legislatif DPR RI pada Pemilu 1999 itu.

+++

Pada 462 wakil rakyat yang terpilih melalui Pemilu 1999 itulah kita meletakkan kepercayaan untuk menyusun cetak biru sekaligus langkah-langkah strategis merealisasikan Reformasi yang dicita-citakan. Melalui Golkar, 120 atau lebih diantaranya, atau 25 persen, diduduki oleh sosok-sosok yang pernah malang melintang dalam kekuasaan Suharto dan Orde Baru sebelumnya. Jumlah significant itu belum termasuk sosok-sosok yang menyusup dan tersebar pada berbagai partai yang baru terbentuk lainnya.

Dari sanalah bermula ‘politik dagang sapi’ Indonesia. Termasuk penyusupan berbagai agenda kepentingan pada rancangan legislatif yang berkenaan dengan otonomi daerah hingga pemilihan kepala daerah dan presiden secara langsung.

+++

Maka sesungguhnya tak terlalu mengherankan jika sebagian rakyat yang kecewa terhadap capaian kepemimpinan Gus Dur dan Megawati (2 tahun) yang dilanjutkan oleh Megawati dan Hamzah Haz (3 tahun), melirik ke arah SBY yang sesungguhnya termasuk bagian dari masa lalu itu.

Pada Pemilu 2004, Golkar justru berhasil meraih suara terbanyak (21,6 persen atau sedikit turun dibanding 22,4 persen tahun 1999). Sementara PDIP merosot tajam. Mereka hanya meraih 18,5 persen. Turun hampir setengah dari perolehan 1999 yang mencapai 33,7 persen.

Partai Demokrat yang didirikan SBY setelah mengundurkan diri dari kabinet Megawati, malah berhasil menguasai 7,5 persen suara dan menempati urutan kelima. Bahkan — perolehannya yang hampir setengah suara yang dikumpulkan PDIP — berhasil mengungguli PAN (6,4 persen) dan PKS (7,3 persen).

+++

Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat yang dipimpin langsung SBY melejit tak terbendung dan berhasil meraih suara terbanyak (20,85 persen) dan menempatkan 150 wakilnya duduk di DPR RI. Kali ini, Golkar bergeser ke posisi kedua dan mengalami penurunan suara hampir sepertiga dari sebelumnya (14,45 persen suara, 107 kursi).

Menarik dicermati karena pada tahun ini lahir sejumlah partai baru yang ditengarai menggembosi suara Golkar. Mereka adalah Gerindra yang didirikan dan dipimpin oleh Prabowo Subiyanto yang telah kembali ke Indonesia setelah bertandang lama di Yordania paska diberhentikan dari TNI (4,46 persen suara, 26 kursi). Lalu Hanura yang dibesut Wiranto (3,77 persen suara, 18 kursi).

PDIP sendiri kembali mengalami penurunan perolehan dari pemilu sebelumnya (14,03 persen suara, 95 kursi) sehingga hanya menempati posisi ketiga.

+++

PDIP berhasil meningkatkan perolehan suarannya pada Pemilu 2014 (18,95 persen suara, 109 kursi DPR RI). Hal tersebut mengantarnya kembali menempati posisi pertama setelah tahun 1999 lalu. Sementara Golkar hanya berhasil meraih 14,75 persen suara (91 kursi). Sedikit lebih baik dibanding 2009.

Hal yang menarik, Demokrat yang pada Pemilu 2009 sebelumnya sempat melejit ke posisi tertinggi, pada Pemilu 2014 mengalami penurunan yang cukup drastis (10,91 persen suara, 61 kursi). Kemungkinan besar terpengaruh berbagai pengungkapan skandal korupsi yang melibatkan kader-kadernya. Ketidak siapan melakukan proses suksesi kepemimpinan, bisa jadi turut berperan. Bagaimanapun, SBY yang telah terpilih 2 kali berturut-turut sebagai Presiden Republik Indonesia, tak mungkin bisa diajukan lagi.

Hal menarik lainnya adalah peningkatan perolehan Gerindra (11,81 persen suara, 73 kursi). Dibanding sebelumnya, jumlah tersebut berlipat hampir 3 kali. Demikian pula Hanura. Perolehannya meningkat menjadi 5,26 persen suara dan mampu menempatkan 16 wakilnya di DPR RI.

Disamping itu, pada tahun 2014 ini, untuk pertama kalinya, Partai Nasdem yang didirikan Surya Paloh turut meramaikan pemilu legislatif. Mereka berhasil meraih 6,72 persen suara atau 35 kursi DPR.

+++

Jika menilik rekam jejak para penguasa parlemen tersebut, bukankah sudah cukup tergambar jelas berlangsungnya proses reinkarnasi kekuatan Orde Baru yang pernah diruntuhkan Gerakan Reformasi sebelumnya?

PDIP, jika ingin merebut kekuasaan untuk menegakkan kembali cita-cita Trisakti yang sempat terbengkalai, memang harus melakukan berbagai cara untuk memenangkan ‘pertempuran’ hari ini. Posisinya jelas sudah terkepung. Apalagi pada Pemilu 2019 mendatang akan hadir lagi sejumlah partai baru yang jelas-jelas didirikan oleh kekuatan dinasti penguasa Orde Baru sebelumnya. Jika menilik perjalanan partai-partai politik yang didirikan eksponen rezim masa lalu yang kini berhasil menguasai parlemen, sebaiknya memang jangan terlalu menganggap enteng kemampuan sejumlah partai baru yang segera masuk gelanggang untuk turut memperebutkan suara pemilih Indonesia.

+++

Kita memang sering mengabaikan kenyataan bahwa rezim Orde Baru pernah berkuasa begitu lama di bumi Indonesia ini. Pengaruh mereka sesungguhnya sudah demikian mengakar. Bahkan banyak yang telah meyakini adat-istiadat dan prilaku berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang pernah dipopulerkannya selama 32 tahun itu, sebagai suatu keniscayaan.

Pada tahun 2014, Jokowi sesungguhnya tampil sebagai penawar dahaga bangsa ini terhadap kegalauan yang berkembang sesaat setelah Reformasi itu bergulir. Uraian singkat di atas menggambarkan dinamika bangsa yang sesungguhkan tidak pernah ajeg melesat ke depan. Tapi justru selalu maju-mundur dan sering terus berputar di tempat. Semata-mata karena kesalah-kaprahan kita dalam meyakini makna berpolitik.

Tentunya semua dapat memahami jika politik adalah sebuah proses kesepakatan. Tapi memaknainya sebagai perundingan prilaku dan kebiasaan masa lalu yang keliru, dengan harapan dan cita-cita perubahan (transformasi) menjadi sesuatu yang benar dan baru — karena meyakini dan memahami kekeliruan masa lalu itu — adalah hal yang absurd sekaligus mustahil.

Megawati dan PDIP sesungguhnya telah membuktikan diri tak piawai dalam memimpin, mengembangkan, maupun menerapkan strategi Reformasi yang pernah diharapkan bangsa ini di pundak mereka. Tanpa bermaksud mengabaikan kegelisahan yang mungkin dirasakannya tentang kebangkitan kembali kekuatan rezim Orde Baru itu — sebagaimana pula telah dijelaskan di atas — mereka mestinya tak perlu terlalu memaksakan pemikiran dan cara-cara yang perlu dan harus dilakukan.

Serahkanlah kepada Joko Widodo.

Jangan dia terus direcokin oleh akrobatik yang tak perlu. Beri dia ruang seluas-luasnya untuk memilih hal terbaik yang harus dan perlu dilakukan. Lihatlah nasib Revolusi Mental dan Nawa Cita yang dikumandangkannya pada hari pertama menjadi Presiden RI tahun 2014 lalu. Bukankah faktanya agenda tersebut tak bisa berjalan baik karena keleluasaannya terpasung akibat campur tangan berlebihan dari kepentingan partai yang tak relevan dengan tuntutan yang sedang mendesak bangsa ini?

Persoalan kita terlalu rumit dan waktu kita terlalu sempit, lho!

Jilal Mardhani, 19 Juni 2018

sumber  https://www.kompasiana.com/jilal.mardhani/5b28efbfcf01b4164a3a1bf2/indonesia-yang-galau-jelang-pemilihan-kepala-daerah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

ANAK PENJUAL ES CREAM KELILING JADI POLWAN

Britanebraling.net, Purbalingga – Terlahir dari keluarga sederhana dan jauh dari kata mewah, tidak menyurutkan niat Nendriana Sistia Kusuma (19) warga Desa Karangduren, Kecamatan Bobotsari, Purbalingga untuk mendaftar menjadi polisi wanita (Polwan). Dengan niat, kerja keras serta ketekunan, cita-citanya menjadi polisi wanita (Polwan) akhirnya terwujud. Nendriana Sistia Kusuma adalah putri dari […]